Menjadi Spesialis di Tengah Kerjaan Generalis
Ada masanya perdebatan soal menjadi generalis dan spesialis menjadi konsumsi tersendiri. Akun platform pencari kerja, CEO startup, sampai dengan entrepreneur pun ikut ambil bagian. Tentu ini tidak ada yang salah.
Membuat konten generalis dan spesialis sejatinya sah-sah saja. Toh semua orang di seluruh dunia pun melakukan hal serupa. Saking samanya, narasi yang digunakan pun itu-itu aja. Gak berubah.
Mirip dengan narasi Kuliah itu nggak penting, yang sejatinya sudah terdengar jauh sebelum bocah crypto menghebohkan jagat Tiktok.
Walau demikian, sekarang ini, tahun 2024 dan beberapa tahun mendatang, pekerjaan generalis akan membutuhkan sentuhan spesialis. Mengapa demikian? Apa saja jenis pekerjaan yang dimaksud?
Pekerjaan generalis dengan pendekatan spesialis
Sebagai contoh, saya mau ambil contoh posisi sebagai Content Writer. Pekerjaan ini secara posisi merupakan generalis karena nggak membutuhkan kualifikasi pendidikan tertentu. Hampir semua lini bisa masuk selama memiliki portofolio yang memadai.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah portfolio saja sudah cukup? Jawabannya tentu saja tidak. Karena yang ingin ditinjau lagi adalah apa saja isi portofolio tersebut.
Anggaplah, ada perusahaan kosmetik membutuhkan posisi content writer untuk mengisi konten media sosial dan blog. Posisi ini membebaskan jenjang pendidikan, usia, dan jenis kelamin.
Perusahaan kosmetik ini bernama “Susul” ini memasang lowongan kerja di media sosial dan platform lainnya. Setelah 1 minggu membuka lowongan, Susul mendapatkan 10 orang yang hendak dipelajari.
Dari semua itu, ada dua orang yang menonjol dari segi skill dan pengalaman kerja. Memiliki skill dan level yang sama namun tetap saja ada perbedaan menonjol.
A memiliki posisi terakhir sebagai Content Writer untuk perusahaan Finance
B memiliki posisi terakhir sebagai Content Writer untuk perusahaan Beauty.
Dari sini saja, A dan B memiliki portfolio yang berbeda. Satu ngomongin kebijakan keuangan. Satunya lagi ngomongin soal merawat wajah agar tetap cantik.
Fast forward, dengan memtimbangkan preferensi dan portfolio, B akhirnya diterima bekerja sebagai Content Writer di Susul. Alasan paling sederhananya adalah B sudah terbiasa dengan membuat konten kecantikan sehingga lebih mudah menyambungkannya ke produk skincare.
Berdasarkan ilustrasi tadi, hal yang mau disampaikan adalah bahwa menjadi content writer membutuhkan skill spesifik yang tercermin di isi kontennya. Kemampuan spesifik bisa kamu dapatkan melalui pengalaman, pendidikan, dan kesukaan.